Desa Rensing Bat, Sebuah entitas
administratif yang relatif muda di Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok
Timur, yang resmi berdiri sejak tahun 2011, kini dihadapkan pada sebuah dilema
akut dalam tata kelola anggarannya. Sejak tahun 2015, seiring derasnya
gelontoran Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), desa ini—seperti banyak
desa lain di Indonesia—seolah terbius oleh mantra pembangunan fisik. Ironisnya,
di balik kokohnya bangunan dan infrastruktur baru, fondasi sumber daya manusia
(SDM) dan pemberdayaan masyarakat justru rapuh dan terabaikan.
Berdasarkan pengamatan yang
disampaikan oleh salah seorang perangkat desa, alokasi anggaran Desa Rensing
Bat sejak 2015 hingga kini cenderung didominasi oleh proyek-proyek fisik. Mulai
dari pembangunan jalan, gorong-gorong, hingga fasilitas umum lainnya,
proyek-proyek ini memang terlihat nyata dan mudah diukur keberhasilannya.
Namun, fokus yang berlebihan pada aspek material ini menimbulkan pertanyaan
mendasar, Apakah kemajuan desa hanya diukur dari panjangnya jalan dan kokohnya
bangunan?
Realitasnya, anggaran untuk
sektor pemberdayaan masyarakat, pembinaan mental, dan peningkatan SDM nyaris
terlupakan, atau bahkan dihentikan tiba-tiba.
Hilangnya Anggaran Guru Ngaji,
Salah satu contoh paling menyakitkan adalah penghentian anggaran untuk insentif
guru mengaji. Program ini, yang sangat krusial dalam pembinaan moral dan agama
masyarakat, terutama generasi muda, tiba-tiba dipangkas tanpa kejelasan sebab.
Pembinaan MTQ yang Kandas,
Senada dengan itu, program pembinaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang
berpotensi melahirkan bibit-bibit unggul dan memelihara tradisi keislaman di
desa juga mengalami nasib serupa, pernah ada, lalu menghilang dari daftar
prioritas.
Padahal, secara regulasi, Dana Desa wajib dialokasikan untuk empat bidang utama, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Idealnya, porsi untuk pemberdayaan harus seimbang, karena pembangunan fisik tanpa diimbangi kualitas manusia hanya akan menciptakan "cangkang" yang kosong. Fokus berlebihan pada fisik memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius, Stagnasi Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Desa.
Jika dana desa terus menerus hanya menjadi dana "proyek fisik," potensi-potensi lokal yang sesungguhnya bisa digali melalui pemberdayaan menjadi terpendam. Program pemberdayaan yang efektif seharusnya mencakup,Pelatihan Keterampilan, Kursus menjahit, pelatihan digital marketing, atau pengolahan produk unggulan desa (misalnya kerajinan atau hasil pertanian).
Penguatan Kelembagaan,
Pembinaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Karang Taruna, dan Kelompok Tani
agar mampu mandiri secara ekonomi.
Pembinaan Spiritual &
Mental, Melanjutkan kembali insentif guru ngaji dan pembinaan keagamaan untuk
menjaga nilai-nilai sosial dan moral masyarakat.
Tanpa investasi pada kualitas
manusianya, infrastruktur fisik yang dibangun akan kurang termanfaatkan secara
optimal. Jalan yang bagus, misalnya, tidak serta merta meningkatkan ekonomi
jika masyarakatnya tidak memiliki keterampilan atau modal usaha untuk
memanfaatkan akses tersebut.
Suara Perangkat Desa yang Tak
Didengar. Situasi ini semakin pelik karena minimnya akomodasi terhadap masukan
dari internal desa sendiri. Perangkat desa yang berada di garis depan pelayanan
dan memahami kebutuhan riil masyarakat merasa tak berdaya.
"Kami sudah sering menyampaikan
masukan, terutama saat Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa)
maupun dalam rapat internal. Kami menyuarakan pentingnya pemberdayaan,
pelatihan, dan pembinaan anak-anak. Tapi, masukan itu seolah tuli dan buta bagi
pengambil kebijakan tertinggi di desa. Semua kebijakan seperti sudah digariskan
untuk fokus ke fisik," ujar sumber.
Kondisi ini mencerminkan
minimnya partisipasi dan transparansi dalam proses perencanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Ketika perangkat desa, sebagai
representasi teknis dan pemangku kepentingan, tidak didengarkan, maka keputusan
yang diambil cenderung bias dan tidak berbasis pada kebutuhan otentik masyarakat.
Desa Rensing Bat, dan
desa-desa lain yang mengalami kondisi serupa, perlu segera melakukan reorientasi
anggaran secara radikal. Prioritas harus beralih dari sekadar mengejar tampilan
fisik menjadi upaya konkret untuk membangun kapasitas masyarakat.
Perlu adanya keberanian dari
pimpinan desa untuk Mengembalikan Anggaran Pemberdayaan, Mengalokasikan kembali
dana untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang SDM, seperti insentif guru ngaji,
pembinaan MTQ, dan pelatihan kewirausahaan.
Transparansi dan Partisipasi, Membuka
ruang diskusi yang jujur dan melibatkan seluruh elemen masyarakat serta
perangkat desa dalam menentukan prioritas anggaran, sesuai semangat
Undang-Undang Desa.
Indikator Keberhasilan Baru,
Menggeser tolok ukur keberhasilan dari jumlah meter jalan yang dibangun menjadi
persentase peningkatan kualitas hidup, penurunan angka pengangguran, atau
keberhasilan program BUMDes.
Pembangunan fisik adalah
keniscayaan, tetapi pembangunan manusia adalah investasi masa depan. Desa
Rensing Bat memiliki potensi besar, namun potensi itu hanya akan terwujud jika
kepemimpinan desa berhenti fokus pada "kulit luar" dan mulai merawat
"isi" yang sesungguhnya. Desa harus menjadi subjek pembangunan, bukan
sekadar objek proyek tahunan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar