Ketika Pembangunan Fisik Mendominasi, Pemberdayaan Masyarakat Desa Rensing Bat Terabaikan, Sebuah Ironi di Tengah Gelontoran Dana Desa - gema darussalam

Breaking

gema darussalam

Bicara Apa Adanya, Berbagi Cerita dan Berita, Dari Desa Terbang Menyapa Dunia

Minggu, 16 November 2025

Ketika Pembangunan Fisik Mendominasi, Pemberdayaan Masyarakat Desa Rensing Bat Terabaikan, Sebuah Ironi di Tengah Gelontoran Dana Desa

 


Desa Rensing Bat, Sebuah entitas administratif yang relatif muda di Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur, yang resmi berdiri sejak tahun 2011, kini dihadapkan pada sebuah dilema akut dalam tata kelola anggarannya. Sejak tahun 2015, seiring derasnya gelontoran Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), desa ini—seperti banyak desa lain di Indonesia—seolah terbius oleh mantra pembangunan fisik. Ironisnya, di balik kokohnya bangunan dan infrastruktur baru, fondasi sumber daya manusia (SDM) dan pemberdayaan masyarakat justru rapuh dan terabaikan.


Berdasarkan pengamatan yang disampaikan oleh salah seorang perangkat desa, alokasi anggaran Desa Rensing Bat sejak 2015 hingga kini cenderung didominasi oleh proyek-proyek fisik. Mulai dari pembangunan jalan, gorong-gorong, hingga fasilitas umum lainnya, proyek-proyek ini memang terlihat nyata dan mudah diukur keberhasilannya. Namun, fokus yang berlebihan pada aspek material ini menimbulkan pertanyaan mendasar, Apakah kemajuan desa hanya diukur dari panjangnya jalan dan kokohnya bangunan?


Realitasnya, anggaran untuk sektor pemberdayaan masyarakat, pembinaan mental, dan peningkatan SDM nyaris terlupakan, atau bahkan dihentikan tiba-tiba.


Hilangnya Anggaran Guru Ngaji, Salah satu contoh paling menyakitkan adalah penghentian anggaran untuk insentif guru mengaji. Program ini, yang sangat krusial dalam pembinaan moral dan agama masyarakat, terutama generasi muda, tiba-tiba dipangkas tanpa kejelasan sebab.


Pembinaan MTQ yang Kandas, Senada dengan itu, program pembinaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang berpotensi melahirkan bibit-bibit unggul dan memelihara tradisi keislaman di desa juga mengalami nasib serupa, pernah ada, lalu menghilang dari daftar prioritas.


Padahal, secara regulasi, Dana Desa wajib dialokasikan untuk empat bidang utama, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Idealnya, porsi untuk pemberdayaan harus seimbang, karena pembangunan fisik tanpa diimbangi kualitas manusia hanya akan menciptakan "cangkang" yang kosong. Fokus berlebihan pada fisik memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius, Stagnasi Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Desa.


Jika dana desa terus menerus hanya menjadi dana "proyek fisik," potensi-potensi lokal yang sesungguhnya bisa digali melalui pemberdayaan menjadi terpendam. Program pemberdayaan yang efektif seharusnya mencakup,Pelatihan Keterampilan, Kursus menjahit, pelatihan digital marketing, atau pengolahan produk unggulan desa (misalnya kerajinan atau hasil pertanian).


Penguatan Kelembagaan, Pembinaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Karang Taruna, dan Kelompok Tani agar mampu mandiri secara ekonomi.


Pembinaan Spiritual & Mental, Melanjutkan kembali insentif guru ngaji dan pembinaan keagamaan untuk menjaga nilai-nilai sosial dan moral masyarakat.


Tanpa investasi pada kualitas manusianya, infrastruktur fisik yang dibangun akan kurang termanfaatkan secara optimal. Jalan yang bagus, misalnya, tidak serta merta meningkatkan ekonomi jika masyarakatnya tidak memiliki keterampilan atau modal usaha untuk memanfaatkan akses tersebut.


Suara Perangkat Desa yang Tak Didengar. Situasi ini semakin pelik karena minimnya akomodasi terhadap masukan dari internal desa sendiri. Perangkat desa yang berada di garis depan pelayanan dan memahami kebutuhan riil masyarakat merasa tak berdaya.


"Kami sudah sering menyampaikan masukan, terutama saat Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) maupun dalam rapat internal. Kami menyuarakan pentingnya pemberdayaan, pelatihan, dan pembinaan anak-anak. Tapi, masukan itu seolah tuli dan buta bagi pengambil kebijakan tertinggi di desa. Semua kebijakan seperti sudah digariskan untuk fokus ke fisik," ujar sumber.


Kondisi ini mencerminkan minimnya partisipasi dan transparansi dalam proses perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Ketika perangkat desa, sebagai representasi teknis dan pemangku kepentingan, tidak didengarkan, maka keputusan yang diambil cenderung bias dan tidak berbasis pada kebutuhan otentik masyarakat.


Desa Rensing Bat, dan desa-desa lain yang mengalami kondisi serupa, perlu segera melakukan reorientasi anggaran secara radikal. Prioritas harus beralih dari sekadar mengejar tampilan fisik menjadi upaya konkret untuk membangun kapasitas masyarakat.


Perlu adanya keberanian dari pimpinan desa untuk Mengembalikan Anggaran Pemberdayaan, Mengalokasikan kembali dana untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang SDM, seperti insentif guru ngaji, pembinaan MTQ, dan pelatihan kewirausahaan.


Transparansi dan Partisipasi, Membuka ruang diskusi yang jujur dan melibatkan seluruh elemen masyarakat serta perangkat desa dalam menentukan prioritas anggaran, sesuai semangat Undang-Undang Desa.


Indikator Keberhasilan Baru, Menggeser tolok ukur keberhasilan dari jumlah meter jalan yang dibangun menjadi persentase peningkatan kualitas hidup, penurunan angka pengangguran, atau keberhasilan program BUMDes.


Pembangunan fisik adalah keniscayaan, tetapi pembangunan manusia adalah investasi masa depan. Desa Rensing Bat memiliki potensi besar, namun potensi itu hanya akan terwujud jika kepemimpinan desa berhenti fokus pada "kulit luar" dan mulai merawat "isi" yang sesungguhnya. Desa harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek proyek tahunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar