Menggugat Logika Pembangunan Desa, Ketika Jasa Guru Ngaji "Dipinggirkan" - gema darussalam

Breaking

gema darussalam

Bicara Apa Adanya, Berbagi Cerita dan Berita, Dari Desa Terbang Menyapa Dunia

Senin, 17 November 2025

Menggugat Logika Pembangunan Desa, Ketika Jasa Guru Ngaji "Dipinggirkan"

 


Di tengah hingar-bingar pembangunan fisik desa, muncul pertanyaan yang menggelayuti hati nurani masyarakat, khususnya di desa-desa perbatasan, Mengapa insentif untuk guru ngaji seolah-olah dikesampingkan? Narasi yang beredar cukup menyakitkan. 


Dulu, pada tahun 2021, konon anggaran untuk guru ngaji sempat berani disisihkan. Namun, entah karena bisikan siapa, alokasi tersebut lenyap, tidak pernah lagi digubris hingga hari ini. Ironisnya, di saat yang sama, prioritas desa justru condong pada proyek-proyek fisik yang dampaknya diragukan.


Fokus berlebihan pada pembangunan fisik menjadi sorotan utama. Masyarakat menyaksikan proyek jalan yang "belum waktunya dikerjakan sudah dikerjakan," bahkan membangun jalan usaha tani yang aneh, bukannya menghubungkan lahan produktif, jalan tersebut malah mengarah ke sungai dan berdekatan dengan permukiman.

"Siapa yang akan ke sana? Semua ini menjadi pertanyaan," ujar salah seorang warga, mencerminkan kebingungan kolektif.


Jika pembangunan irigasi yang jelas menopang ekonomi petani, tentu tidak akan menjadi masalah. Namun, jika proyek fisik dilakukan tanpa perencanaan yang matang, hanya berdasarkan kepentingan sesaat, maka dana desa yang seharusnya menjadi berkah justru berpotensi menjadi bumerang. Proyek-proyek tersebut bukan hanya menghabiskan anggaran, tetapi juga mengikis kepercayaan publik.


Lupa Jasa Pahlawan Senyap di balik pembangunan infrastruktur yang kasat mata, ada fondasi moral dan spiritual desa yang dibangun oleh para guru ngaji, pahlawan senyap yang mengikhlaskan waktu dan tenaga mereka. Mereka adalah penjaga akhlak, peletak dasar spiritual bagi generasi muda, khususnya di daerah perbatasan yang seringkali menghadapi tantangan sosial dan budaya yang kompleks.


Peran mereka sangat vital, terutama di desa perbatasan, di mana mereka tidak hanya mengajar Al-Qur'an, tetapi juga menjadi benteng nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.


Mengabaikan insentif bagi guru ngaji berarti melupakan jasa mereka. Ini memunculkan pertanyaan kritis, Apa jalan pikiran pimpinan desa ini sehingga sampai lupa dengan jasa guru ngaji?


Insentif adalah bentuk pengakuan negara/desa terhadap peran guru ngaji dalam mencerdaskan spiritual anak bangsa, yang tidak dapat diukur dengan meteran jalan.

Honorarium yang layak dapat meringankan beban ekonomi mereka, mendorong mereka untuk lebih fokus dalam mendidik. Pengabaian ini mengindikasikan pergeseran prioritas dari pembangunan manusia menuju pembangunan material, yang seringkali bersifat proyek dan rentan kepentingan.


Situasi ini diperparah dengan dugaan sikap pimpinan desa yang "buta tuli." Keluhan dan masukan dari masyarakat seolah mental, tidak mau didengar. Padahal, pembangunan desa yang ideal adalah yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat melalui musyawarah, menyeimbangkan kebutuhan fisik dan spiritual.


Kisah dari desa kecil di perbatasan kabupaten ini adalah cerminan dari tantangan pengelolaan Dana Desa di banyak wilayah. Dana desa seharusnya dapat digunakan secara fleksibel, termasuk untuk pemberdayaan masyarakat dan pembinaan keagamaan, sebagaimana telah dipraktikkan oleh banyak desa lain di Indonesia yang sukses mengalokasikan insentif bagi guru ngaji dan tenaga pendidik agama.


Penggunaan Dana Desa harus didasarkan pada skala prioritas yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan hanya berdasarkan kemauan segelintir elite. Prioritas yang adil adalah yang menyeimbangkan pembangunan infrastruktur (fisik) dengan pembangunan sumber daya manusia (spiritual dan pendidikan).


Sudah saatnya pimpinan desa menyadari bahwa investasi terbaik bukanlah pada beton yang mungkin akan retak, melainkan pada karakter generasi muda yang dibentuk oleh jasa para guru ngaji. Menganggarkan kembali insentif bagi guru ngaji bukan sekadar bantuan sosial, melainkan sebuah kewajiban moral dan pengakuan terhadap pondasi peradaban desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar